Mengenal Sosok Paku Alam V, Aristo-Modernis dari Timur

Tidak ada komentar

Buku yang sangat ditunggu-tunggu oleh pecinta sejarah. Dokpri

"Urip nang tlatah sing cerak ratune kui hawane adem," kata simbah suatu hari. Tidak terasa apa yang dikatakan simbah ini nyantol di dalam pikiran bawah sadar bocah usia 14 tahun yang lagi gencar-gencarnya main ke perpusda. Ditambah lagi dengan adanya makam raja di Girigondo yang sering dijadikan tempat tujuan lari pagi oleh si bocah dan teman sekampungnya.

Saat itu si bocah berpikir keras, raja yang mana yang makamnya di Girigondo? Bukankan raja ada di kota Yogya, kenapa makamnya jauh sekali di pelosok Kulon Progo?
Bocah yang penasaran dengan makam Girigondo dan siapa raja yang dikatakan oleh simbah itu adalah aku. Minimnya pengetahuan dan buku-buku yang menceritakan tentang wilayah tempat tinggal simbah juga membuatku kesulitan untuk mengenal siapa yang dimakamkan di Girigondo. Hanya cerita dari mulut ke mulut yang aku peroleh bahwa Girigondo adalah makam para raja.

Beberapa tahun melewati masa SMA yang membosankan, membuatku memendam rasa penasaran tersebut dalam-dalam. Ditambah dengan aktifitas kerja ataupun kuliah yang tidak berhubungan dengan sejarah, membuatku merasa sukses untuk memendam rasa penasaran. Tapi berkat tangan Tuhan, aku dipertemukan dengan orang-orang yang menyukai sejarah dan aku belajar banyak dari mereka.

Kembali lagi ke simbah yang lahir pada tahun 1939 di wilayah Adikarto (yang belum melebur menjadi Kulon Progo). Daerah ini bagaikan permadani hijau di bawah lereng menoreh yang gersang saat musim kemarau. Tidak pernah terbersit dalam pikiranku jika pada awalnya wilayah ini adalah rawa dan tanah yang tidak subur, serta penduduknya melarat. Tetapi pada kenyataannya hal ini pernah terjadi sekitar 1,5 abad yang lalu. Pemilik wilayah tidak subur, berawa, dan merupakan endemik malaria ini adalah Pura Pakualaman.
Pura Pakualaman, sebuah keraton yang letaknya tidak jauh dari keraton Yogyakarta. Dok : Pura Pakualaman

Sejarah Singkat  Berdirinya Pakualaman

Pura Pakualaman berdiri tahun 1812, pendiri dinasti ini adalah pangeran Notokusumo yang kemudian bergelar menjadi Paku Alam I. Pangeran Notokusumo merupakan putera dari Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan garwa ampeyan. Tetapi Pangeran Notokusumo memiliki kecerdasan yang luar biasa sehingga menjadi putera kesayangan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Namun, konflik internal dalam keraton Yogyakarta ditambah campur tangan Daendels akhirnya membuat Notokusumo diasingkan ke berbagai wilayah dan hidup sebagai tawanan. Beliau kemudian diberi tanah lungguh setelah geger sepoy yang memporak- porandakan keraton Yogya. Wilayahnya yaitu meliputi kecamatan Pakualaman yang sekarang dan pesisir selatan Kulon Progo yang disebut Kabupaten Adikarto. Mengenai sejarah Pakualaman mungkin akan aku tuangkan dalam artikel tersendiri.

Paku Alam V Bertahta

Setiap penguasa yang bertahta dihadapkan dengan permasalahan tersendiri, kadang bahkan merupakan permasalahan warisan dari penguasa sebelumnya. Entah itu permasalahan internal maupun eksternal. Begitu pula dengan Paku Alam V ketika naik tahta. Tidak tanggung-tanggung ada hutang 100.000 gulden yang harus segera beliau lunasi. Selain itu tantangan zaman berupa arus westernisasi juga sedang melanda wilayah Pakualaman. Padahal sebagai Paku Alam beliau juga harus menjaga tradisi jawa tapi beliau juga bisa menerima arus westernisasi demi kemajuan pendidikan anak cucunya kelak, agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Apa yang menjadikan beliau menerima arus westernisasi? Bagaimana sepak terjang beliau dalam menjalankan pemerintahan kadipaten Pakualaman yang terlilit hutang? Dalam buku yang berjudul Aristo-Modernis Dari Timur, Paku Alam V, Westernisasi dan Paradoks Kebudayaan dijelaskan detail tentang alasan beliau menerima westernisasi dan sepak terjang beliau dalam menjalankan pemerintahan yang terlilit hutang.

Peluncuran Buku Aristo-Modernis dari Timur
Prof. Dr. Peter Carey menceritakan tentang Paku Alam V. Dokpri


Buku karya Sudibyo, Sri Ratna Sakti Mulya, Sri Margana, Mutiah Amini dan Baha Uddin ini cukup melegakan bagi siapapun yang penasaran dengan sejarah Pakualaman. Memang sangat minim sekali buku tentang Kadipaten Pakualaman yang beredar di perpustakaan umum. Buku ini diluncurkan pada tanggal 15 Februari 2019 dalam rangka memperingati hadeging Pura Pakualaman yang ke 213 tahun Jawa. Peluncuran buku bertempat di Bangsal Kepatihan, Pakualaman. Dalam acara ini menghadirkan dua orang penulis yaitu Dr.Sudibyo M.Hum dan Dr. Sri Ratna Sakti Mulya M.Hum serta Prof.Dr. Peter Carey. Berbagai kendala dalam meneliti mengenai Paku Alam V juga diceritakan oleh penulis, seperti mencari sumber data sampai ke negeri Belanda. Sementara itu Prof.Dr. Peter Carey bercerita bahwa seorang pemimpin itu tidak dilahirkan tapi dibentuk. Jadi, sebelum membaca buku ini sudah terlintas di pikiranku bahwa Paku Alam V adalah seorang pemimpin yang dibentuk, bukan dilahirkan. Walaupun berdarah biru, tidak serta merta beliau menganggap martabatnya lebih tinggi daripada orang lain. Beliau bahkan mengikuti Tarikat Mason Bebas (freemason) dan tidak segan-segan turun ke bawah (blusukan). Tetapi walaupun begitu, beliau tetap memelihara kebudayaan Jawa salah satunya dengan memerintahkan penyalinan serat-serat milik leluhurnya. Kompleks pemakaman Girigondo juga dibangun atas perintah beliau ketika menduduki tahta. Begitu juga dengan masalah sewa tanah sampai akhirnya dibangun pabrik gula Sewugalur di Galur, Kabupaten Adikarto.
Sinden dan para penabuh gamelan yang memeriahkan acara peluncuran buku Paku Alam V. Dokpri

Ada ungkapan bahwa sejarah itu dibuat oleh pemenang, kepentingan politik dan sebagainya. Tetapi bung Karno pernah bilang jangan sekali-kali melupakan sejarah. Begitupun dengan buku ini, tanpa mengenal sosok Paku Alam V kita tidak akan tahu siapa suksesor dibalik kesuksesan para bumiputera untuk menempuh pendidikan (khususnya dinasti Paku Alam). Dari sepak terjang beliau juga kita bisa meneladani bagaimana seharusnya bersikap terhadap perkembangan zaman yang tidak bisa dibendung oleh siapapun.





Tidak ada komentar